Hadits 11: Adab-Adab Minum
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA
وَعَنْهُ رضي اللّه تعالى عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا . أخرجه مسلم
Dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang dari kalian minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Muslim)
Syarah:
Dzahir hadits ini menunjukkan bahwasanya seorang muslim dilarang minum dalam keadaan berdiri, karena kaidah ushul fiqh mengatakan,
الأَصْلُ فِي النَّهْيِ اِلتَّحْرِيْمُ
“Hukum asal dalam larangan adalah pengharaman.”
Oleh karena itu, sebagian ulama (seperti ulama zhāhiriyyah) mengambil makna Dzahir hadits ini. Mereka mengatakan bahwa minum dalam kondisi berdiri hukumnya haram. Artinya, jika seseorang minum dalam kondisi berdiri, maka dia berdosa karena melanggar sesuatu yang diharamkan.
Adapun jumhur ulama (mayoritas/kebanyakan ulama) membawakan hadits ini dengan makna “tidak utama.” Artinya, janganlah salah seorang dari kalian minum dalam kondisi berdiri karena hal itu tidak utama. Yang utama adalah seseorang minum dalam kondisi duduk, meskipun boleh minum dalam kondisi berdiri.
Pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak haram minum dalam kondisi berdiri didasarkan pada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah minum dalam kondisi berdiri. Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan juga Imam Muslim, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, beliau berkata,
سَقَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ وَهُوَ قَائِمٌ
“Aku memberikan kepada Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam air minum dari zamzam maka Beliaupun minum air zamzam tersebut dalam kondisi berdiri.” (HR Al-Bukhari No. 1637 dan Muslim No. 2027)
Kemudian, ada hadits lain yang juga dalam Shahih Al-Bukhari, dari ‘Ali bin Thālib radhiallahu ‘anhu, beliau pernah minum berdiri. Beliau diberikan air kemudian beliau minum berdiri tatkala beliau berada di Kuffah. Beliau berkata,
إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ. وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ
“Sesungguhnya orang-orang tidak suka jika salah seorang dari mereka minum dalam kondisi berdiri. Sementara aku pernah melihat Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan apa yang pernah kalian lihat melakukannya.”
Artinya, “Aku (‘Ali bin Abī Thālib) pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum berdiri sebagaimana kalian sekarang melihat aku minum berdiri.” (HARI Al-Bukhari No. 5615)
Inilah yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwasanya minum dalam kondisi berdiri hukumnya adalah boleh, terutama jika ada kebutuhan.
Namun, ada khilaf di antara para ulama pada masalah ini, yaitu bagaimana mengompromikan 2 model hadits ini. Ada hadits yang menunjukkan larangan (Nabi melarang untuk minum sambil berdiri) dan ada hadits-hadits yang menunjukkan Nabi pernah minum sambil berdiri dan bahkan dipraktikkan oleh ‘Ali bin Abī Thālib radhiallahu ‘anhu dengan minum sambil berdiri.
- Pendapat pertama
Mereka berpendapat bahwasa hadits-hadits yang menunjukkan larangan untuk minum sambil berdiri itu datang terakhir. Dengan demikian, hadits-hadits itu me-mansukh (menghapus kandungan hukum) hadits-hadits yang membolehkan minum berdiri.
Namun, tentu saja ini pendapat yang tidak kuat. Hal ini dibuktikan perbuatan ‘Ali bin Abī Thālib yang menyampaikan atau mempraktikkan minum sambil berdiri ketika beliau sedang di Kuffah, yaitu di masa Khulafaur Rasyidin dan setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwasanya ‘Ali bin Abī Thālib memahami hukum tersebut tidak mansukh.
- Pendapat kedua
Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang melarang minum berdiri telah di-mansukh oleh hadits-hadits yang membolehkan untuk minum berdiri. Jadi, pendapat ini berkebalikan dengan pendapat yang pertama.
Akan tetapi pendapat kedua ini pun bukanlah pendapat yang kuat. Karena masalah nasikh dan mansukh butuh dalil yang lebih kuat, butuh kepastian mana dalil yang lebih dahulu dan mana yang lebih terakhir. Sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan tentang semua itu.
Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanyalah kekhususan Nabi, sedangkan kita sebagai umat Nabi tidak boleh minum berdiri.
Mereka berpendapat bahwa dalam hal ini Nabi memiliki kekhususan karena pada waktu berbicara melarang minum, Beliau berbicara dengan ucapan, yaitu dengan mengatakan, “Jangan salah seorang dari kalian minum berdiri.” Adapun ketika Beliau minum sambil berdiri adalah perbuatan, bukan ucapan. Mak hal ini menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri adalah kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun pendapat ini juga dibantah oleh sebagian ulama yang lain. Mereka mengatakan, kalau hal itu merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kenapa dipraktekkan juga oleh ‘Ali bin Abi Thalib?. Bahkan para sahabat juga mempraktikannya. Ibnu Umar berkata :
كنّا نشربُ ونحنُ قِيامٌ، ونأكلُ ونحنُ نمشي، على عهدِ رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم –
“Kami dahulu minum sambil berdiri, dan kami makan sambil berjalan di masa hidup Rasulullah” (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh At-Tirmidzi dengan berkata : Hadits shahih ghorib, dan juga dishahihkan oleh Al-Albani dalam as-Shahihah No. 3178)
Dengan demikian pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang mengkompromikan/menggabungkan antara 2 model hadits ini. Mereka membawakan hadits yang melarang minum sambil berdiri itu kepada makna khilaful awlā, yaitu bahwasanya lebih utama untuk tidak minum sambil berdiri. Di sisi lain mereka membolehkan minum sambil berdiri berdasarkan dalil-dalil yang membolehkan, terutama dalam kondisi tertentu yang memang diperlukan minum sementara dia dalam keadaan berdiri.
Kesimpulannya, disunnahkan bagi seorang muslim ketika minum untuk mengambil posisi duduk. Dengan itu ia akan mendapatkan ganjaran dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Namun jika dia ada keperluan, dia boleh minum dalam keadaan berdiri.
Al-Hāfizh Ibnu Hajar pernah berkata,
إذا رُمْتَ تَشْرَبُ فاقْعُـدْ تَفُزْ…. بِسُنَّةِ صَفْوَةِ أهلِ الحِجـــازِ
“Jika kau hendak minum maka minumlah dalam keadaan duduk, maka kau akan mendapatkan pahala sunnahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin Ahlul Hijāz.”
Selanjutnya Al-Hāfizh berkata,
وقـد صَحَّحُـوا شُرْبَهُ قائِماً …… وَلَكِنَّهُ لِبَيَانِ الْجَــــــوَازِ
“Para ulama telah membenarkan hadits-hadits tentang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah minum dalam keadaan berdiri, akan tetapi Beliau minum berdiri tersebut hanyalah untuk menjelaskan bolehnya minum berdiri.” (sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam al-Yawaaqiit wa ad-Duror fi Syarhi Nukhbati Ibni Hajar 1/170)
Jadi kita umat Islam kalau ingin mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam asalnya kita minum dalam keadaan duduk. Namun jika ada keperluan (kebutuhan) boleh kita minum berdiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Peringatan :
Sebagian orang awam di tanah air kita memandang bahwa makan dan minum dengan berdiri hukumnya tercela dengan berdalih bahwa hal itu menyerupai binatang, dan Allah berfirman :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang (QS Muhammad :12)
Maka yang dimaksud dalam ayat adalah bukan cara makannya -yaitu cara makan binatang yang makan dan minum sambil berdiri- akan tetapi maksudnya adalah orang-orang kafir kehidupan mereka hanyalah bersenang-senang dan memakan-makan dengan melupakan adanya hari akhirat dan hari pembalasan, yang hal ini sebagaimana binatang yang kehidupannya hanyalah makan tanpa memikirkan hari akhirat. (Lihat Tafsir At-Thobari 21/197(. Pikiran mereka yang paling utama adalah hanyalah perut dan kemaluan mereka sebagaimaan binatang (lihat Tafsir al-Qurthubi 16/235 dan Tafsir al-Baghowi 7/281)